06 Maret 2011

Geliat Bontoa dalam Sejarah Marusu'

Pengantar M. Farid W Makkulau
 
 
MAROS merupakan salah satu daerah yang sejarahnya sering dipertanyakan. Bukan karena daerah ini tidak memiliki perjalanan panjang dalam sejarahnya, tetapi karena masih kurangnya penelitian dan penulisan tentang sejarah daerah ini.  Kabupaten perbatasan di sebelah utara Kota Makassar yang sekarang memiliki luas wilayah 1.619,12 km2 dan terdiri dari 14 Kecamatan ini (Bantimurung, Camba, Cenrana, Lau, Mallawa, Mandai, Maros Baru, Bontoa (Maros Utara), Marusu, Moncongloe, Simbang, Tanralili, Tompobulu, dan Turikale) sebenarnya adalah salah satu bekas wilayah  kerajaan di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Marusu’. 
 
Dalam ’Lontaraq Patturioloanga ri Gowa’, disebutkan eksistensi Kerajaan Marusu’, disebelah utara Kerajaan Gowa. Raja pertamanya disebutkan bernama Karaeng Loe ri Pakere, diduga sezaman dengan masa kekuasaan Karaeng Tumapakrisika Kallonna, Raja Gowa IX. Letaknya yang sangat strategis dengan luas wilayah kekuasaan mengokupasi daerah pertanian yang subur menggiurkan dua kerajaan utama untuk mengeksekusi secara politik dan ekonomi, yaitu Kerajaan Bone di sebelah timurnya dan Kerajaan Gowa di sebelah selatannya. Pada Abad XVIII, wilayah Kerajaan Marusu terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil dan menggabungkan diri dalam persekutuan Toddo Limayya ri Marusu’, Lobbo Tengngae, dan Gallarang Appaka.
 
Dalam Kronik Gowa, Hubungan kesejarahan Gowa dengan Marusu hanya diketahui saat Gowa aktif melakukan ekspansi dan perluasan wilayah kekuasaan. Modernisasi dan Perluasan wilayah kekuasaan politik Gowa, baik dengan tekanan militer maupun dengan politik kawin mawin yang dirintis Karaeng Tumapakrisika Kallonna juga dilakukan pada masa Karaeng Tunipalangga Ulaweng (1546 – 1565). Raja Gowa X ini menaklukkan dan menjadikan bawahan Maros, sebagai salah satu pencapaian di masa kekuasaannya. (Abdurrahim, tt : 23 – 30, dalam Andaya : 32).
 
Wilayah kekuasaan Kerajaan Marusu’ tak hanya dibutuhkan Gowa sebagai konsekuensi berkembangnya Kerajaan kembar Gowa – Tallo (Kerajaan Makassar) secara politik, tetapi juga secara ekonomi, untuk mengamankan sumber daya sebagai konsekuensi berkembangnya jalur perniagaannya dan hubungannya dengan dunia luar. Sementara di sisi lain, di sebelah timur Marusu’, Kerajaan Bone juga berkembang dengan sangat pesat, malahan ekspansi dan perluasan wilayah Bone sudah dimulai sejak masa kekuasaan La Ummasa Petta Panre Bessie dan mencapai puncaknya di masa kekuasaan Raja Bone VI, La Uliyo Botee Matinroe ri Itterung (1519 – 1544).
 
Nampaknya, pada masa Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisika Kallonna, Kerajaan Makassar sudah menggantikan kedudukan Siang sebagai penguasa utama semenanjung barat dan pada saat yang sama, kehebatan ekspansi Bone di sebelah timur dan puncaknya di masa kekuasaan Raja Bone VI, La Uliyo Botee juga sudah menggantikan Luwu sebagai penguasa utama semenanjung timur jazirah Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahan keduanya, dijalin hubungan bilateral antara dua kerajaan, perjanjian persahabatan antara dua kerajaan utama ini dikenal dalam sejarah ”Ulu Adae ri Tamalate” sebagai masa damai antara Bone dengan Gowa (1538 – 1562). (Kasim, 2002 : 36 – 37).
 
Meski kedua kerajaan utama ini sudah mengikat ”Ulu Ada”, segera sepeninggal Karaeng Tumapakrisika Kallonna, Penerusnya, Daeng Bonto Karaeng Tunipalangga (1546 – 1565), Daeng Manrumpa Karaeng Data Tunibatta (1565), dan Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo semakin kokoh memperkuat ekspansi ke sebelah utara dan timurnya dan melupakan perjanjian yang dibuat pendahulunya. Serangan militer Gowa ke Bone dalam tahun 1562 – 1611, membuat Marusu’ yang berada di tengah – tengah, terjepit. Sebagian wilayah timurnya masuk wilayah Bone dan sebagian wilayah selatannya masuk wilayah Gowa. Di masa kekuasaan Sultan Alauddin, Bone benar – benar sudah ditaklukkan, dalam Tahun 1611. (Kasim, 2002).    
 
Dalam masa Tahun 1562 – 1611 ini, rakyat Marusu’ telah menyatukan darah orang Bugis Makassar sebagai dampak Konflik dan Perang Gowa – Bone dalam wujud keturunan, bahasa, tradisi dan adat istiadat. Cenrana, yang masuk dalam pasal perjanjian Ulu Adae ri Caleppa sebagai konsekuensi kalahnya perang Gowa atas Bone di akhir tahun 1565 sebenarnya memang sudah ditaklukkan Bone sejak masa kekuasaan La Tenrisukki Mappajunge’. Penyatuan Bone, Soppeng dan Wajo (Tellumpoccoe ri Timurung) dalam tahun 1572 juga merupakan konsekuensi perang Antara Gowa dan Bone, selanjutnya Gowa memakai alasan menyebarkan ajaran Islam (Bundu Kasallangan) sebagai alasan memerangi Bone sampai dalam Tahun 1611, Bone takluk dan tunduk dibawah kekuasaan Gowa, di masa pemerintahan Sultan Alauddin.
 
Serangan Gowa ke sebelah utara hampir pasti tidak mendapatkan perlawanan yang berarti, wilayah paling utara Marusu’, Bontoa yang berbatasan dengan Binanga Sangkara, wilayah Barasa (Pangkajene) dengan mudah ditaklukkan sejak masa kekuasaan Raja Gowa, Karaeng Tunipalangga. Supaya lebih mudah mengendalikan daerah pertanian subur ini, I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng, Raja Gowa X (1546-1565) mengutus I  Mannyarrang, seorang bangsawan dari Bangkala, putra dari I Pasairi Daeng Mangngasi Karaeng Labbua Tali Bannangna, Karaeng Bangkala dari isterinya I Daeng Takammu Karaeng Bili' Tangngayya untuk menjadi karaeng maggau’ di wilayah tersebut. (lihat silsilahnya dalam buku ini).
 
Saya menduga, eksistensi kekaraengan Bontoa ri Marusu’, yang mencakup pula wilayah Ka’ba, wilayah paling selatan Barasa (Pangkajene) menjadi awal penyebutan ”Pangkajene Marusu” untuk membedakannya dari ”Pangkajene Sidenreng”.  Kampung Ka’ba pada permulaan Abad XVII, masuk pada kekaraengan Barasa. Sewaktu Gowa menaklukkan Barasa, kampong Ka’ba belum berpenduduk. Nanti setelah kedatangan Karaeng La Mannyarrang, Ka’ba dimasukkan dalam wilayah kekuasaannya meski keturunan Raja Bangkala tersebut berkedudukan di Bontoa, tentunya dengan persetujuan dari Raja Gowa. Mula – mulanya Bontoa hanya merupakan kegallarangan, kemudian baru ditingkatkan menjadi kekaraengan. La Mannyarang bersama orang – orang dari Bangkala mencetak sawah dan membuat perkampungan baru di bekas kampung yang kosong tersebut. Demikian pula halnya dengan Kampung Ka’ba yang berada dibawah kekuasaan La Mannyarrang (Makkulau, 2008).
 
Patut dicatat disini, bahwa pendapat Bontoa yang sebelumnya diklaim sebagai wilayah yang dikuasai oleh Karaeng Marusu, berdasarkan riwayat J.A.B. Van De Broor tentang Randji silsilah Regent van Bontoa (1928) yang mana mengisahkan kehadiran I Mannyarrang sebagai utusan Somba Gowa untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Dan selanjutnya, Karaeng Marusu’ mempersilahkan I Manyarrang membuka daerah baru yang menjadi kekuasaan Gowa. Namun, dalam Lontaraq silsilah Karaeng Loe ri Pakere sebagaimana ditulis Andi Syahban Masikki, tidak menempatkan Bontoa sebagai wilayah yang dikuasai Marusu’. (periksa silsilah keduanya dalam buku ini).  
 
Perang Makassar tidak terhindarkan sebagai konsekuensi dari upaya Bone – Soppeng melepaskan diri dari ’penjajahan’ Gowa. Dengan menggandeng VOC (Belanda), Arung Palakka memimpin perlawanan Bugis terhadap Imperium besar di Nusantara Bagian Timur, Kerajaan Gowa. Perang Makassar menyisakan banyak kenangan di bekas wilayah Kerajaan Marusu’, termasuk didalamnya Bontoa.  Dalam Tahun 1668, Maros menyambut hangat utusan bugis dan menyatakan kesediaan bergabung melawan Gowa (Andaya, 157). Di tahun yang sama, dalam Bulan Agustus, Pasukan elit Gowa menyerang Maros. Sukses pasukan bugis di Siang dan Maros mengingatkan kesetiaan bagi Turatea (Andaya, 158), Namun, dalam Bulan November 1668, pasukan Makassar memanfaatkan celah waktu saat perundingan dengan Bugis – Belanda untuk merebut kembali Maros, Siang, Labakkang, Segeri dan Barru (Andaya, 160).
 
Dalam tahun 1670 – 2, Arung Palakka memusatkan perhatian pada sawah di Maros dan Bantaeng, dua wilayah yang dihadiahkan padanya oleh Kompeni sebagai pinjaman (fiefs) atas kesetiaannya kepada Kompeni (KA), saat itulah, menurut sumber – sumber Bugis, sebagian Toangke diberi Tanah di Maros dan Segeri, wilayah yang asalnya didiami oleh Penduduk Makassar. Dalam Tahun 1678, Arung Palakka membagi wilayah kewenangannya. Daeng Memang, putera mantan Arumpone La Maddaremmeng diberi kewenangan atas Maros.  (Andaya, 255).
 
Latar sejarah diatas, dengan kompleksitas perebutan wilayah politik dan ekonomi yang mewarnainya, yang kemudian 'memaksa' Muhammad Aspar, menulis buku ini, dengan penajaman pada Sejarah Kekaraengan Bontoa, satu pusaran kecil dalam perkembangan Sejarah Marusu’ (Maros). Keberaniannya menghadirkan silsilah dari sumber lokal patut diapresiasi sebagai upaya memunculkan kembali wajah baru dalam penafsiran sejarah, khususnya dinamika sejarah yang terjadi dari Kerajaan Marusu’ sampai kemudian terbentuknya Toddo Limayya ri Marusu’ dimana Kekaraengan Bontoa adalah salah satu didalamnya.
 
Akhirnya, saya ucapkan selamat kepada Muhammad Aspar, yang telah berani menghadirkan buku ini. Buku “Sejarah Kekaraengan Bontoa ri Marusu” ini setidaknya merupakan kebangkitan baru penelitian dan penulisan Sejarah Daerah Maros. Semoga kehadiran buku ini memberi nuansa dan khazanah tersendiri bagi perkembangan historiografi Daerah Maros selanjutnya dan semoga upaya Muhammad Aspar dengan buku pertamanya ini, bernilai pahala disisi-Nya. Amieen.
 
 
M. Farid W Makkulau,
Butta Salewangan, 1 Maret 2011

Tidak ada komentar: