17 September 2011

06 Maret 2011

Geliat Bontoa dalam Sejarah Marusu'

Pengantar M. Farid W Makkulau
 
 
MAROS merupakan salah satu daerah yang sejarahnya sering dipertanyakan. Bukan karena daerah ini tidak memiliki perjalanan panjang dalam sejarahnya, tetapi karena masih kurangnya penelitian dan penulisan tentang sejarah daerah ini.  Kabupaten perbatasan di sebelah utara Kota Makassar yang sekarang memiliki luas wilayah 1.619,12 km2 dan terdiri dari 14 Kecamatan ini (Bantimurung, Camba, Cenrana, Lau, Mallawa, Mandai, Maros Baru, Bontoa (Maros Utara), Marusu, Moncongloe, Simbang, Tanralili, Tompobulu, dan Turikale) sebenarnya adalah salah satu bekas wilayah  kerajaan di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Marusu’. 
 
Dalam ’Lontaraq Patturioloanga ri Gowa’, disebutkan eksistensi Kerajaan Marusu’, disebelah utara Kerajaan Gowa. Raja pertamanya disebutkan bernama Karaeng Loe ri Pakere, diduga sezaman dengan masa kekuasaan Karaeng Tumapakrisika Kallonna, Raja Gowa IX. Letaknya yang sangat strategis dengan luas wilayah kekuasaan mengokupasi daerah pertanian yang subur menggiurkan dua kerajaan utama untuk mengeksekusi secara politik dan ekonomi, yaitu Kerajaan Bone di sebelah timurnya dan Kerajaan Gowa di sebelah selatannya. Pada Abad XVIII, wilayah Kerajaan Marusu terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil dan menggabungkan diri dalam persekutuan Toddo Limayya ri Marusu’, Lobbo Tengngae, dan Gallarang Appaka.
 
Dalam Kronik Gowa, Hubungan kesejarahan Gowa dengan Marusu hanya diketahui saat Gowa aktif melakukan ekspansi dan perluasan wilayah kekuasaan. Modernisasi dan Perluasan wilayah kekuasaan politik Gowa, baik dengan tekanan militer maupun dengan politik kawin mawin yang dirintis Karaeng Tumapakrisika Kallonna juga dilakukan pada masa Karaeng Tunipalangga Ulaweng (1546 – 1565). Raja Gowa X ini menaklukkan dan menjadikan bawahan Maros, sebagai salah satu pencapaian di masa kekuasaannya. (Abdurrahim, tt : 23 – 30, dalam Andaya : 32).
 
Wilayah kekuasaan Kerajaan Marusu’ tak hanya dibutuhkan Gowa sebagai konsekuensi berkembangnya Kerajaan kembar Gowa – Tallo (Kerajaan Makassar) secara politik, tetapi juga secara ekonomi, untuk mengamankan sumber daya sebagai konsekuensi berkembangnya jalur perniagaannya dan hubungannya dengan dunia luar. Sementara di sisi lain, di sebelah timur Marusu’, Kerajaan Bone juga berkembang dengan sangat pesat, malahan ekspansi dan perluasan wilayah Bone sudah dimulai sejak masa kekuasaan La Ummasa Petta Panre Bessie dan mencapai puncaknya di masa kekuasaan Raja Bone VI, La Uliyo Botee Matinroe ri Itterung (1519 – 1544).
 
Nampaknya, pada masa Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisika Kallonna, Kerajaan Makassar sudah menggantikan kedudukan Siang sebagai penguasa utama semenanjung barat dan pada saat yang sama, kehebatan ekspansi Bone di sebelah timur dan puncaknya di masa kekuasaan Raja Bone VI, La Uliyo Botee juga sudah menggantikan Luwu sebagai penguasa utama semenanjung timur jazirah Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahan keduanya, dijalin hubungan bilateral antara dua kerajaan, perjanjian persahabatan antara dua kerajaan utama ini dikenal dalam sejarah ”Ulu Adae ri Tamalate” sebagai masa damai antara Bone dengan Gowa (1538 – 1562). (Kasim, 2002 : 36 – 37).
 
Meski kedua kerajaan utama ini sudah mengikat ”Ulu Ada”, segera sepeninggal Karaeng Tumapakrisika Kallonna, Penerusnya, Daeng Bonto Karaeng Tunipalangga (1546 – 1565), Daeng Manrumpa Karaeng Data Tunibatta (1565), dan Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo semakin kokoh memperkuat ekspansi ke sebelah utara dan timurnya dan melupakan perjanjian yang dibuat pendahulunya. Serangan militer Gowa ke Bone dalam tahun 1562 – 1611, membuat Marusu’ yang berada di tengah – tengah, terjepit. Sebagian wilayah timurnya masuk wilayah Bone dan sebagian wilayah selatannya masuk wilayah Gowa. Di masa kekuasaan Sultan Alauddin, Bone benar – benar sudah ditaklukkan, dalam Tahun 1611. (Kasim, 2002).    
 
Dalam masa Tahun 1562 – 1611 ini, rakyat Marusu’ telah menyatukan darah orang Bugis Makassar sebagai dampak Konflik dan Perang Gowa – Bone dalam wujud keturunan, bahasa, tradisi dan adat istiadat. Cenrana, yang masuk dalam pasal perjanjian Ulu Adae ri Caleppa sebagai konsekuensi kalahnya perang Gowa atas Bone di akhir tahun 1565 sebenarnya memang sudah ditaklukkan Bone sejak masa kekuasaan La Tenrisukki Mappajunge’. Penyatuan Bone, Soppeng dan Wajo (Tellumpoccoe ri Timurung) dalam tahun 1572 juga merupakan konsekuensi perang Antara Gowa dan Bone, selanjutnya Gowa memakai alasan menyebarkan ajaran Islam (Bundu Kasallangan) sebagai alasan memerangi Bone sampai dalam Tahun 1611, Bone takluk dan tunduk dibawah kekuasaan Gowa, di masa pemerintahan Sultan Alauddin.
 
Serangan Gowa ke sebelah utara hampir pasti tidak mendapatkan perlawanan yang berarti, wilayah paling utara Marusu’, Bontoa yang berbatasan dengan Binanga Sangkara, wilayah Barasa (Pangkajene) dengan mudah ditaklukkan sejak masa kekuasaan Raja Gowa, Karaeng Tunipalangga. Supaya lebih mudah mengendalikan daerah pertanian subur ini, I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng, Raja Gowa X (1546-1565) mengutus I  Mannyarrang, seorang bangsawan dari Bangkala, putra dari I Pasairi Daeng Mangngasi Karaeng Labbua Tali Bannangna, Karaeng Bangkala dari isterinya I Daeng Takammu Karaeng Bili' Tangngayya untuk menjadi karaeng maggau’ di wilayah tersebut. (lihat silsilahnya dalam buku ini).
 
Saya menduga, eksistensi kekaraengan Bontoa ri Marusu’, yang mencakup pula wilayah Ka’ba, wilayah paling selatan Barasa (Pangkajene) menjadi awal penyebutan ”Pangkajene Marusu” untuk membedakannya dari ”Pangkajene Sidenreng”.  Kampung Ka’ba pada permulaan Abad XVII, masuk pada kekaraengan Barasa. Sewaktu Gowa menaklukkan Barasa, kampong Ka’ba belum berpenduduk. Nanti setelah kedatangan Karaeng La Mannyarrang, Ka’ba dimasukkan dalam wilayah kekuasaannya meski keturunan Raja Bangkala tersebut berkedudukan di Bontoa, tentunya dengan persetujuan dari Raja Gowa. Mula – mulanya Bontoa hanya merupakan kegallarangan, kemudian baru ditingkatkan menjadi kekaraengan. La Mannyarang bersama orang – orang dari Bangkala mencetak sawah dan membuat perkampungan baru di bekas kampung yang kosong tersebut. Demikian pula halnya dengan Kampung Ka’ba yang berada dibawah kekuasaan La Mannyarrang (Makkulau, 2008).
 
Patut dicatat disini, bahwa pendapat Bontoa yang sebelumnya diklaim sebagai wilayah yang dikuasai oleh Karaeng Marusu, berdasarkan riwayat J.A.B. Van De Broor tentang Randji silsilah Regent van Bontoa (1928) yang mana mengisahkan kehadiran I Mannyarrang sebagai utusan Somba Gowa untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Dan selanjutnya, Karaeng Marusu’ mempersilahkan I Manyarrang membuka daerah baru yang menjadi kekuasaan Gowa. Namun, dalam Lontaraq silsilah Karaeng Loe ri Pakere sebagaimana ditulis Andi Syahban Masikki, tidak menempatkan Bontoa sebagai wilayah yang dikuasai Marusu’. (periksa silsilah keduanya dalam buku ini).  
 
Perang Makassar tidak terhindarkan sebagai konsekuensi dari upaya Bone – Soppeng melepaskan diri dari ’penjajahan’ Gowa. Dengan menggandeng VOC (Belanda), Arung Palakka memimpin perlawanan Bugis terhadap Imperium besar di Nusantara Bagian Timur, Kerajaan Gowa. Perang Makassar menyisakan banyak kenangan di bekas wilayah Kerajaan Marusu’, termasuk didalamnya Bontoa.  Dalam Tahun 1668, Maros menyambut hangat utusan bugis dan menyatakan kesediaan bergabung melawan Gowa (Andaya, 157). Di tahun yang sama, dalam Bulan Agustus, Pasukan elit Gowa menyerang Maros. Sukses pasukan bugis di Siang dan Maros mengingatkan kesetiaan bagi Turatea (Andaya, 158), Namun, dalam Bulan November 1668, pasukan Makassar memanfaatkan celah waktu saat perundingan dengan Bugis – Belanda untuk merebut kembali Maros, Siang, Labakkang, Segeri dan Barru (Andaya, 160).
 
Dalam tahun 1670 – 2, Arung Palakka memusatkan perhatian pada sawah di Maros dan Bantaeng, dua wilayah yang dihadiahkan padanya oleh Kompeni sebagai pinjaman (fiefs) atas kesetiaannya kepada Kompeni (KA), saat itulah, menurut sumber – sumber Bugis, sebagian Toangke diberi Tanah di Maros dan Segeri, wilayah yang asalnya didiami oleh Penduduk Makassar. Dalam Tahun 1678, Arung Palakka membagi wilayah kewenangannya. Daeng Memang, putera mantan Arumpone La Maddaremmeng diberi kewenangan atas Maros.  (Andaya, 255).
 
Latar sejarah diatas, dengan kompleksitas perebutan wilayah politik dan ekonomi yang mewarnainya, yang kemudian 'memaksa' Muhammad Aspar, menulis buku ini, dengan penajaman pada Sejarah Kekaraengan Bontoa, satu pusaran kecil dalam perkembangan Sejarah Marusu’ (Maros). Keberaniannya menghadirkan silsilah dari sumber lokal patut diapresiasi sebagai upaya memunculkan kembali wajah baru dalam penafsiran sejarah, khususnya dinamika sejarah yang terjadi dari Kerajaan Marusu’ sampai kemudian terbentuknya Toddo Limayya ri Marusu’ dimana Kekaraengan Bontoa adalah salah satu didalamnya.
 
Akhirnya, saya ucapkan selamat kepada Muhammad Aspar, yang telah berani menghadirkan buku ini. Buku “Sejarah Kekaraengan Bontoa ri Marusu” ini setidaknya merupakan kebangkitan baru penelitian dan penulisan Sejarah Daerah Maros. Semoga kehadiran buku ini memberi nuansa dan khazanah tersendiri bagi perkembangan historiografi Daerah Maros selanjutnya dan semoga upaya Muhammad Aspar dengan buku pertamanya ini, bernilai pahala disisi-Nya. Amieen.
 
 
M. Farid W Makkulau,
Butta Salewangan, 1 Maret 2011

27 Oktober 2010

Sejarah Kekaraengan Bontoa

BAB I
SEJARAH KEKARAENGAN BONTOA

I. Riwayat & Silsilah Kekaraengan Bontoa

Pada Abad Ke XVI kedudukan Bontoa berada dalam wilayah kerajaan Marusu sebelum dibuka oleh I Mannyarang Putra Raja Bangkala (Jene’ponto) yang menjadi utusan raja gowa. namun demikian dalam Lontara Riwayat Karaeng Loe Ri Marusu tidak menempatkan Bontoa sebagai salah satu wilayah kekuasaan Karaeng Marusu, ini dinyatakan dalam Lontara (I Sahban Daeng Masikki 1889 milik A. Fachry Makkassau demikian halnya oleh “W Cummings “ dalam Reppaading The Histories Of Maros Chronicle), akan tetapi dalam Lontara ini dijelaskan bahwa atas inisiatif Karaeng Marusu Ke X La Mamma Daeng Marewa ( (1723 – 1779) sehingga terbentuklah ikatan diantara para raja – raja yang berada disekitar wilayah Kerajaan Marusu dalam suatu Falsafah Ma’bulo Sibatang selanjutnya dikenal dengan nama Toddo Limayya Ri Marusu yaitu Marusu, Bontoa,Simbang,Tanralili dan Raya.

Dalam konteks sejarah para raja – raja terdahulu senang untuk memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga penulis berpikir semua ini berawal dari ekspedisi seorang Mannyarang dalam melaksanakan titah atau perintah Raja Gowa untuk memperluas wilayah kekuasaannya ataupun secara pribadi sebagai seorang bangsawan. dalam perjalanannya sampailah pada suatu daerah pesisir utara kerajaan Marusu yang kemudian diberinya nama Panaikang selanjutnya Pa’rasangan Beru dan Panjallingan sampai akhirnya I Mannyarang melihat dataran yang agak tinggi dan menyebutnya Bonto akhirnya I Manyarrang memberikan nama Bontoa, Kedatangan I Mannyarang diceritakan mengunakan Perahu Layar lengkap dengan atribut kebesaran kerajaan Gowa , sebagai catatan ditempat asal I Mannyarang Bangkala Jene’ponto terdapat pula sebuah kampung bernama Panaikang dan Pa’rasangan Beru serta Desa Bontoa.

Selanjutnya hasil dari Ekspedisi ini dilaporkan kepada Raja Gowa serta menyampaikan keinginannya untuk menetap dibontoa sehingga Raja Gowa Mengangkat I Mannyarang sebagai Gallarang Bontoa dengan diberikan Bendera Kebesaran (Cindea) sebagai simbol Kebesaran dan Kekuasaan Karaeng Bontoa dari Raja Gowa.

Sejarah Kakaraengan Bontoa menurut J.A.B. Van De Broor dalam tulisannya tetang Randji silsilah Regent Van Bontoa (1928) meriwayatkan Bontoa sebagai salah satu wilayah Kerajaan Marusu sampai akhirnya I Mannyarang datang sebagai utusan Raja Gowa untuk memperluas wilayah kekuasaannya sehingga Karaeng Marusu mempersilahkan I Mannyarang membuka daerah baru dan I Mannyarang memilih sebuah daerah dipesisir utara kerajaan Marusu yang kemudian diberi nama Bontoa, J.A.B. Van De Broor juga meriwayatkan bahwa Karaeng Bontoa dari Generasi I Mannyarang tidak menyukai serta selalu menyulitkan Belanda (tidak mau bekerja sama) dengan pemerintah belanda sehingga Karaeng Bontoa dari Generasi Mannyarang diberhentikan oleh belanda, selanjutnya pemerintah belanda mengangkat penguasa yang bukan dari Generasi I Mannyarang sebagai Hoofd Distrik Bontoa.

Sejarah inilah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan sehingga Pemerintah Kabupaten Maros mengubah nama dulunya Kec. Maros Utara menjadi Kec. Bontoa.

adapun daerah kekuasaannya meliputi :

1. Bontoa
2. Salenrang
3. Sikapaya
4. Balosi
5. Pa’rasangan Beru
6. Panaikang
7. Tanggaparang
8. Lempangang
9. Panjallingang
10. Ujung Bulu
11. Batunapara
12. Belang – Belang
13. Suli – suli
14. Panambungan
15. Magemba
16. Tala Mangape

II. Silsilah I Mannyarang dari Raja Gowa & Bangkala

I Mannyarang merupakan Putra dari Karaeng Bangkala Ke III Makam Orang tua beliau masih terpelihara hingga saat ini dan merupakan salah satu cagar budaya kab. Jene’ ponto, makamnya terletak di desa Banrimanurung kecamatan Bangkala, dalam silsilah keluarga tertulis orang tua dari I Mannyarang adalah Karaeng Bangkala bergelar Karaeng Labbua Talibannanna yang menikah dengan I Daeng Takammu Karaeng Bilitanngayya, hal yang sama ditulis J.A.B. Van De Broor tetang Randji Silsilah Regent Van Bontoa (1928),

Bangkala merupakan salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa Ke X bernama I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546 – 1565). dalam Lontara Silsilah Karaeng Ujung Moncong tertulis nama Karaeng Labbua Talibannanna Anak dari Atinna Bangkala yang menikah dengan Karaeng Ujung Moncong. Karaeng Labbua Talibannanna merupakan Raja Bangkala III dalam Silsilah Kerajaan Bangkala. selanjutnya dijelaskan bahwa Karaeng Labbua Talibannanna memperistrikan I Daeng Takammoe Karaeng Bilitangngayya Putri dari Sombayya Ri Gowa bergelar Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng Raja Gowa Ke X (1546 – 1565). kutipan (Lontara Silsilah Karaeng Unjung Mocong dan Silsilah Daeng Mino oleh I. Caldwell & W. Bougas 'The Early History of Binamu and Bangkala, South Sulawesi'). dalam The Sedjarah Goa (Wolhoff dan Abdurrahim nd:30) dinyatakan bahwa Raja Gowa Ke X Tunipallangga Ulaweng mempunyai dua orang Putri. .
selanjutnya dapat kita uraikan sebagai berikut :

Lontara Silsilah Karaeng Ujung Moncong tertulis nama Karaeng Labbua Talibannanna Anak dari Atinna Bangkala yang menikah dengan Karaeng Ujung Moncong. Karaeng Labbua Talibannanna merupakan Raja Bangkala III dalam Silsilah Kerajaan Bangkala. selanjutnya dijelaskan bahwa Karaeng Labbua Talibannanna memperistrikan kare Pate (Daeng Takammoe Karaeng Bilitanggayya ) merupakan Putri Sombayya Ri Gowa Tunipallangga Raja Gowa Ke X bernama I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546 – 1565). kutipan (Lontara Silsilah Karaeng Unjung Mocong dan Silsilah Daeng Mino oleh I. Caldwell & W. Bougas 'The Early History of Binamu and Bangkala, South Sulawesi)

Dari Silsilah Karaeng Ujung Moncong dan Daeng Mino diuraikan riwayat asal usul Karaeng Labbua Talibannanna. Adapun tulisan J.A.B. Van De Broor bahwa Karaeng Labbu Talibannanna berasal dari Binamu perlu kita luruskan kembali dimana dalam lontara silsilah Karaeng Binamu yang ditulis H. Abdulrahim tidak ditemukan nama Karaeng Labbu Talibannanna atau dimungkinkan pada masanya Binamu lebih dominan dari Bangkala sehingga Van De Broor menulis Karaeng Labbu Talibannanna berasal dari Binamu.

Ada dua Versi Lontara Silsilah Karaeng Bangkala yang menyebutkan Mengenai ibu dari Karaeng Labbua Talibannanna.
dimana salah satunya menyebutkan ibu dari Karaeng Labbua Talibannanna yaitu Putri dari Karaeng Loe Ri Marusu.
Versi pertama dari Daeng Mino Lontara Silsilah Karaeng Bangkala menyebutkan Atinna Bangkala menikah dengan Karaeng Ujung Moncong lahirlah: Karaeng Labbua Talibannanna.
Versi kedua dari Lontara Silsilah Karaeng Ujung Moncong menyebutkan Atinna Bangkala menikah dengan Putri Karaeng Loe Ri marusu lahirlah Puang Kope Karaeng Labbua Talibannanna.

Namun Kedua Versi Lontara silsilah Karaeng Bangkala menyebutkan bahwa Karaeng Labbua Talibannanna menikah dengan Putri Raja Gowa ke X .

Mengacu dari uraian silsilah Karaeng Labbua Talibannanna sekirannya dapat dibenarkan apabila Van de Broor dalam tulisannya menyebutkan I Mannyarang sebagai utusan Raja Gowa yang diperintahkan untuk memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa, adapun dalam sejarah kerajaan Makassar dan Bugis umumnya yang menjadi Gallarang atau Matowa (Penguasa disuatu Wilayah) merupakan keluarga dekat Raja – Raja yang berkuasa.

Raja Gowa ke X I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546 – 1565). merupakan salah satu raja yang berhasil dalam periode pemerintahannya.
Prof. DR. H.A.Mattulada ( Menyusuri Jejak Kehadiran MAKASSAR dalam SEJARAH).

Dari Lontara Silsilah Karaeng Ujung Moncong dan Lontara Silsilah Daeng Mino selanjutnya diuraikan :
Karaeng Pauraga menikah dengan Banrimanurung (Tumanurung) lahirlah:
Anak pertama I Batara langi yang menikah dengan putri Karaeng Kojaya lahirlah :
I Massaguling
Sawempalangi
I Golla Taua
Anak kedua Liampayabang menikah dengan Karaeng Tamamapa lahirlah :
Palembawana yang bersuamikan I Golla Taua anak dari I Batara Langi dari penikahan ini lahirlah :
Atinna Bangkala menikah dengan Karaeng Ujung Moncong (Versi Lontara Daeng Mino ) & memperistrikan Putri Karaeng Loe Ri Marusu (Versi Lontara Karaeng Ujung Moncong) lahirlah ;
Pasiri Daeng Mangngasi bergelar Karaeng Labbua Talibannanna karaeng Bangkala Ke III yang Menikah dengan I Daeng Takammoe Karaeng Bilitangngayya Putri Raja Gowa Ke X I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546 – 1565) lahirlah:
Pertama(G1) I Mannyarang Karaeng Bontoa I
Kedua(G1) I Mandjoewarang Karaeng Bontoa ke II menikah (nama istri tidak ada) diuraikan juga dalam Silsilah Karaeng Ujung Moncong Putra Karaeng Labbua Talibannanna Saudara I Mannyarang yang lain yaitu Karaengta Ribugaya dan Karaengta Ri Lure selanjutnya
I Mandjoewarang Karaeng Bontoa ke II(G1) menikah (Nama istri tidak ada)lahirlah:
I Baso Bonto Karaeng Bontoa (G2) menikah (Nama istri tidak ada)
lahirlah(G3)
I Daeng Sutte Karaeng Bontoa Ke III(G3) yang menikah dengan I Sarapiah Daeng Ningai (anak dari La Makkasoe Karaengta Soelewatang Mantinroa Ri Bontomanai dengan istrinya bernama I Badeda Of Raeda Daeng Rikong) lahirlah(G4)
Anak Pertama(G4) I Daeng Mangoentongi Karaeng Bontoa Ke IV
Anak kedua(G4) I Pakandi Daeng Massuro Karaeng Bontoa Ke V
menikah dengan I Panangarang Daeng Tongi putri dari La Makkasese Soelewatang Bontoa lahirlah:
I Manngaweang Daeng Mangngalle (G5) Karaeng Bontoa Ke VIII
Anak ketiga(G4) I Pandima Daeng Lion Karaeng Bontoa Ke VI.

Selanjutya diuraikan I Manngaweang Daeng Mangngalle Karaeng Bontoa Ke VIII(G5) menikah dengan I Bondeng Karaeng Tallasa cucu Karaeng Tanralili Ke V Matinroa Ri Tjidoe Toa lahirlah(G6)
I Parewa Daeng Mamala Karaeng Bontoa ke X(G6) yang menikah dengan I Hamida Karaeng Sibo anak dari I Yaripa Daeng Ratu (I Yaripa Daeng Ratu adalah Putri Karaeng Bontoa Ke IX I Reggo Daeng Mattiro) suaminya bernama I Daeng Mattappu (putra dari Karaeng Madja Iman Galesong).
dari pernikahan I Parewa Daeng Mamala Karaeng Bontoa ke X(G6) dengan I Hamida Karaeng Sibo
lahirlah (G7)
I Baoesad Karaeng Sitaba Karaeng Bontoa Ke XII(G7) bergelar Karaeng Tallasa Sayanga Ri Bulekkanna Matinroa Ri Bontoa (sesuai Bisluit pengangkatan 1 Januari 1895 s/d 1905Wafat Rabu 21 April 1916) istrinya berjumlah 4 (empat) orang.


BAB III
KEKARAENGAN BONTOA DARI RAJA LUWU DAN TANETE BARRU

I. La Maddusila Datu Tanete ke XVI

Pada salah satu bagian dari Silsilah Karaeng Bontoa tertulis nama dari salah seorang Anak dari Raja Luwu yaitu La Maddusila Datu Tanete Matinroe ri Dusung nama aslinya adalah La Weru Daeng Mattemmu. namun dalam silsilah keluarga Karaeng Bontoa (terputus) tidak disebutkan lagi siapa orang tua La Maddusila Datu Tanete.

Lontara silsilah Raja Luwu La Maddusila Datu Tanete ke XVI atau La Maddusila Karaeng Tanete merupakan Putra dari La Mallarangeng Datu Lompulle juga sebagai Datu Mario Riwawo (Ayah) yang menikah dengan We Tenri Leleang Datu Luwu ke 26 dan 28 (1734 – 1753) juga sebagai Datu Tanete Ke XV (1747) Matinroe ri Soreang (ibu) selajutnya (We Tenri Lelleang Datu Luwu adalah anak dari La Rumpamegga To Sappaile Datu Luwu Matinroe Ri Suppa (Kakek) yang istrinya bernama Batara Tungke Sitti Fatimah Anak dari La Onro To Palaguna Datu Luwu Matinroe Ri Langkanana (Buyut) yang istrinya bernama We Patekke Tana Daengta Nisanga Datu Tellu Sallassana selanjutnya (La Onro To Palaguna adalah putra dari Setiaraja Datu Luwu Raja Luwu XVI Matinroe ri Tompo Tikka (Cicit) La Maddusila,

Nama La Maddusila Datu Tanete sangat dikenal oleh para keturunan Raja – Raja Melayu berdarah Bugis dari hasil penelusuran beberapa sejarawan bugis makassar dan melayu terungkap bahwa pertalian keturunan Bugis dan Melayu salah satunya terlahir dari garis keturunan La Maddusila berdasarkan silsilah keturunan yang menjadi rujukan masing – masing keluarga raja – raja Melayu. Generasi La Maddusila Datu Tanete yang banyak mewarnai kerajaan – kerajaan ditanah Melayu Riau dan Malaysia. Hal ini sangat diyakini oleh para generasinya bahwa La Maddusila Datu Tanete adalah Moyang mereka.
Keturunan La Maddusila yang menjadi Raja – Raja Melayu Riau dan Malaysia diantaranya Daeng Marewa dikenal sebagai Yam Dipertuan Muda Riau I (1723 – 1728) Daeng Cella Yam Dipertuan Muda Riau II (1728 – 1745) selanjutnya dalam silsilah Raja Johor Malaysia diantaranya Tun Abbas Daeng Parani, Temenggong Daeng Ibrahim menjadi Raja Johor demikian juga keturunan beliau menjadi Raja Selagor Malaysia dan Daeng Manambon Raja Mempawah dan salah satu keturunan La Maddusilah yang termasyur ditanah melayu Adalah Raja Ali Haji (Pulau Penyengat) dengan karyanya Gurindam Duabelas.
Selanjutnya keturunan La Maddusila yang menjadi Raja Gowa dan Bone diriwayatkan dalam lontara silsilah La Mappasesseu To Appatunru Arungpone MatinroE ri Laleng Bata Raja Bone ke 24 (1812 – 1823) Cucu dari Raja Gowa ke XX (1709 – 1711) La Pareppa To Sappe Wali (Sultan Ismail) MatinroE ri Somba Opu, La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka menikah dengan sepupunya yang bernama We Bau Arung Kaju lahirlah Anak perempuan yang bernama
We Baego Arung Macege kawin di Berru dengan Sumange Rukka To Patarai Arung Berru Putra dari Arung Berru To Appasawe yang isterinya yang bernama We Hatija Arung Paopao putri dari La Maddussila Karaeng Tanete yang isterinya bernama We Seno Datu Citta.
Selanjutnya diuraikan cucu dari La Maddusila Karaeng Tanete menikah dengan We Baego Arung Macege Putri La Mappasesseu To Appatunru Raja Bone ke 24 MatinroE Ri Laleng Bata, dari hasil pernikahan We Baego Arung Macege dengan Sumange Rukka To Patarai Arung Berru lahirlah generasi yang menjadi Raja Gowa dan Bone selanjutnya diuraikan :
Anak Pertama : We Pada Arung Berru
Anak Kedua : Singkeru Rukka Arung Palakka Raja Bone ke 29 (1860 - 1871) yang menikah dengan Sitti Saira Arung Lompu saudara perempuan MatinroE ri Ajang Benteng lahirlah anak perempuan bernama We
Fatimah Banri Datu Citta atau We Banri Gau Arung timurung Raja Bone ke 30 (1871 - 1895) yang menikah dengan sepupu satu kalinya yaitu La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo anak dari We Pada Arung Berru yang menikah di Gowa dengan I Mallingkaang Karaeng Katangka Raja Gowa Ke 33 (1893 – 1895) bergelar Sultan Idris Tuminanga Ri Kalabbiranna dari perkawinan ini lahirlah:
pertama bernama I Makkulawu Daeng Serang Karaeng Lembang Parang Raja Gowa Ke 34 bergelar Sultan Husain Tumenanga Ri Bundu’na (1895 – 1906).
kedua bernama I Topatarai Karaeng Pabbundukang
Ketiga bernama I Togellangi Karaeng Silajo,
keempat bernama We Batari Daeng Marennu Arung Berru,
kelima bernama We Bau ,
keenam bernama We Biba Karaeng Bonto Masuji,
ketujuh bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo,
kedelapan bernama Butta Intang Karaeng Mandalle,
kesembilan bernama I Mangiruru Daeng Mangemba Karaeng Manjalling, kesepuluh bernama We Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete,
kesebelas bernama Sitti Haja Daeng Risanga,
kedua belas bernama Sitti Rugaiya Karaeng Langelo,
ketiga belas bernama I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Raja Gowa Ke 35 (1936 – 1946).

Temuan diatas merupakan fakta sejarah yang hanya dapat diungkap dengan merunut suatu Silsilah Keluarga yang disimpang oleh keturunan masing – masing. (kutipan Lontara Silsilah Raja Bone milik Drs. A. Amir Sessu.

II. I Reggo Daeng Matiro Karaeng Bontoa Ke IX

J.A.B. Van De Broor (1928) meriwayatkan I Reggo Daeng Matiro diangkat menjabat Karaeng Bontoa Ke IX pada saat ayahnya La Pataoe Datu Tanete Ke XVII menguasai Maros yang berkedudukan dikampung Marana. La Pataoe Datu Tanete Ke XVII adalah Putra dari La Maddusila Daeng Mattemmu Karaeng Tanete ke XVI dengan istrinya bernama We Seno Tenri Bali Datu Citta putri dari La Temmassonge Arungpone Matiroe Ri Malimongang Raja Bone Ke 22 (1749 - 1775) dan Raja Gowa Ke 28 (1770 - 1778).

La Pataoe Datu Tanete Ke XVII adalah seorang Raja yang pada masa pemerintahannya menyatakan perang terhadap kompeni Belanda sehingga diberi Gelar Anumerta Petta Mpelainge Musunqna baca (LONTARAQ TANETE Karya Retna Kencana Arung Pancana Toa Colliq Puji)
Riwayat lain La Patau Baso Cempa Arung Tanete menikah We Tungke Besse Loka. La Patau Baso Cempa Arung Tanete seorang pejuang yang tidak menyukai kolonial Belanda. La Patau memimpin peperangan melawan Mayoor General Dalton dari V.O.C. sedangkan Anaknya La Sameggo melawan penguasa Belanda Baron T. Collot d’Escury di Segeri pada tahun 1855. Pada tanggal 21 Juli 1993 Presiden Republik Indonesia, H.M. Soeharto memberikan gelar kepahlawanan Nasional dan mendapatkan Piagam Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama kepada La Sameggo Daeng Kalebbu dan diakui sebagai tokoh pejuang Sulawesi Selatan (ditulis oleh Drs. Abdul Muttalib. M. Terbitan tahun 1975).

La Pataoe Datu Tanete Ke XVII pernah menguasai maros mungkin dapat kita benarkan melihat fakta sejarah serta uraian Silsilah dari La Pataoe Datu Tanete Ke XVII, pertama Ayahnya La Maddusila Daeng Mattemmu adalah Datu Tanete ke XVI Putra dari We Tenri Leleang Datu Luwu ke 26 dan 28 juga sebagai Datu Tanete Ke XV kedua Ibunya We Seno Datu Citta adalah Putri dari La Temmassonge Arungpone Matiroe Ri Malimongang Raja Bone Ke 21 (1749 - 1775) dan Raja Gowa Ke 28 (1770 - 1778) pada saat kakeknya sebagai Raja Gowa dan Bone sangat dimungkinkan La Patoe menguasai Maros.

Selanjutnya diuraikan silsilah I Reggo Daeng Matiro Karaeng Bontoa Ke IX sebagai berikut:
La Mallarangeng Datu Lompulle menikah dengan We Tenri Lelleang Datu Luwu Matinroe ri Soreang Datu Luwu ke 26 dan 28 juga sebagai Datu Tanete Ke XV putri dari La Rumpamegga To Sappaile Datu Luwu Matinroe Ri Suppa dengan istrinya bernama Batara Tungke Sitti Fatimah lahirlah(G1) La Maddusila Daeng Mattemmu Datu Tanete ke XVI yang menikah dengan We Seno Datu Citta(G1) putri dari La Temmassonge Arungpone Matiroe Ri Malimongang Raja Bone Ke 21 (1749 - 1775) dan Raja Gowa Ke 28 (1770 - 1778) lahirlah(G2) La Pataoe Datu Tanete Ke XVII menikah (nama istri tidak ada) lahirlah(G3)
I Reggo Daeng Matiro Karaeng Bontoa Ke IX(G3) yang menikah dengan I Teto Daeng Ngai lahirlah(G4)
I Yaripa Karaeng Ratoe(G4) yang bersuamikan I Daeng Mattappu Putra dari Karaeng Madja Iman Galesong.
lahirlah :
I Hamida Karaeng Sibo(G5) yang menikah dengan I Parewa Daeng Mamala Karaeng Bontoa ke X(G6 I Mannyarang) putra dari (I Manngaweang Daeng Mangngalle Karaeng Bontoa Ke VIII)
lahirlah(G6)
I Baoesad Karaeng Sitaba Karaeng Bontoa Ke XII(G6 dari We Tenri Leleang ) bergelar Karaeng Tallasa Sayanga Ri Bulekkanna Matinroa Ri Bontoa istrinya berjumlah 4 (empat) orang.

03 April 2009

Ketika Do & Re Meninggalkan Jiwaku...

Saat jemariku menyentuh tuts piano tua seorang teman
ku tersadar dalam nyata yang fana,
estetika menjelma dalam diriku.
dawai pentatonic Blues hangat dalam kenangan
riuh tepukan seakan hadir seketika dalam nuansa café dengan lampu blitsnya.
Still Got The Blues… masih menyatu dengan jari – jemariku.
dari sudut bartender Seraut wajah dengan bola mata sayu dan bibir yang Seksi tersenyum mesra mungkin dia Rindu akan sentuhan jemari ini.
tubuhku bergetar mencari jati diri yang telah berlalu, akankah malam ini terlewatkan begitu saja… Ya… Allah Sungguh Indah CiptaanMU.

Posterku berbingkai kayu gaharu wanginya tak terasa lagi
Pesonanya telah Redup usang oleh waktu.
Aku tersadar dalam Asa yang lain.
Oh . . . betapa Cintaku pada bidadari berbibir seksi telah sirna dalam Dunia yang lain.
Jemariku seakan kaku memainkan tangga nada Do… Re… Mi.
Yang tersisa hanya sepenggal Rindu dan Hasrat dalam mimpi – mimpiku.
Raga serta jiwaku Sujud dan bersyukur.
Ya Allah begitu banyak keindahan yang telah EngkaU berikan…



Batam, 20 Maret 2009


Asky
Legend Beat Band ‘03